Sunday 21 October 2012

Karbohidrat (Gizi)


BAB 1. PROSEDUR ANALISIS    
1.1              Tujuan
Untuk menentukan pengaruh suhu pemanasan terhadap daya cerna pati pangan.
1.2              Alat dan Bahan
1.2.1   Alat
Alat – alat yang digunakan yaitu tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet mikro, penangas air 37 – 100oC, gelas ukur, beaker glass, spektrofotometer, labu ukur,  botol semprot, parutan, mortar pastle.
1.2.2   Bahan
Bahan – bahan yang digunakan yaitu singkong, kentang, aquades, kertas saring, Na phospat dan DNS (dinitrosalisilat).
1.3              Prosedur Analisis
Pertama singkong dan kentang diparut dan dihaluskan dengan mortar kemudian diambil masing-masing sebanyak 100 mg lalu dilarutkan serta disaring ke dalam labu ukur 50 ml dan ditera hingga tanda batas. Filtrat dimasukkan ke dalam beakerglass 150 ml lalu dipanaskan 10 menit dengan berbagai variasi suhu perlakuan yaitu 27 OC, 70 OC dan 100 OC. Kemudian, diambil masing-masing 2 ml larutan ke dalam tabung reaksi. Lalu ditambahkan 1 ml aquades dan 5 ml pereaksi buffer Na phospat pada masing-masing tabung. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37 OC 15 menit. Lalu ditambahkan 1 ml enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37 OC 30 menit. Setelah itu diangkat dan diambil 1ml larutan dari campuran tersebut dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lainnya. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat (DNS), dan dipanaskan pada suhu 100 OC 10 menit. Terakhir didinginkan dan ditambah 1 ml aquades dan absorbansi dengan λ = 520 nm, kemudian dicatat dan dianalisa.



















BAB 2. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
2.1 Hasil Pengamatan
2.1.1 Kentang
suhu (OC)
berat sampel (gram)
absorbansi
rata-rata absorbansi
ulangan 1
ulangan 2
27
0,105
0,998
1,060
1,029
70
0,102
1,006
1,004
1,005
100
0,102
0,923
0,925
0,924

2.1.2 Singkong
suhu (OC)
berat sampel (gram)
absorbansi
rata-rata absorbansi
ulangan 1
ulangan 2
27
0,120
0,930
0,927
0,929
70
0,104
0,804
0,859
0,862
100
0,122
0,860
0,858
0,859



2.2 Hasil Perhitungan
Suhu (oC)
% Maltosa
Kentang
Singkong
27
41,90
33,07
70
42,12
35,38
100
38,70
30,06




BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Komposisi Kimia Kentang dan Singkong
Menurut (Prihatman,2000) dalam Salunkhe singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Ubi singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai komponen utamanya. Singkong relative kaya akan kalsium dan asam askorbat (vitamin C). Namun ubi ini tidak dapat langsung dikonsumi dalam bentuk segar tapi selalu dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, penghancuran, atau beberapa proses tradisional lainnya dengan tujuan untuk detoksifikasi atau membuang HCN yang bersifat mematikan yang dikandung dari semua varietas singkong. Kandungan kalori dankomposisi zat gizi dalam 100 gram singkong



(Chan, 1983) .

Kandungan air per 100 gram kentang ialah 82 gram, dengan nilai protein sebanyak 2 gram, kälori sebanyak 70 kkal, dan karbohidrat sebanyak 19 gram. Selain kandungan-kandungan tersebut, kentang juga memiliki kandungan lain seperti zat besi dan riboflavin yang penting bagi tubuh. Kentang memiliki kadar air cukup tinggi, yaitu sekitar 80 persen. Itulah yang menyebabkan kentang segar mudah rusak, sehingga harus disimpan dan ditangani dengan baik. Pengolahan kentang menjadi kerupuk, tepung, dan pati, merupakan upaya untuk memperpanjang daya guna umbi tersebut. Kentang merupakan satu-satunya jenis umbi yang kaya vitamin C, kadarnya mencapai 31 miligram per 100 gram bagian kentang yang dapat dimakan. Umbi-umbian lainnya sangat miskin akan vitamin C. Kebutuhan vitamin C sehari 60 mg, untuk memenuhinya cukup dengan 200 gram kentang. Kadar vitamin lain yang cukup menonjol adalah niasin dan B1 (tiamin).

3.2 Pengertian Pati dan Daya Cerna Pati
Pati merupakan senyawa polisakarida yang terdiri dari monosakarida yang berikatan melalui ikatan oksigen. Monomer dari pati adalah glukosa yang (1,4)-glikosidik, yaitu ikatan kimia yangaberikatan dengan ikatan  menggabungkan 2 molekul monosakarida yang berikatan kovalen terhadap sesamanya. Pati merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan 1,4-glukosa. Sedangkan polimer amilopektin adalah terbentukaikatan 1,4-glukosida dan membentuk cabang pada ikatan dari ikatan a  1,6-glukosida.a( Pati dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman yang dibentuk (disintesa) di dalam daun (plastid) dan amiloplas seperti umbi, akar atau biji dan merupakan komponen terbesar pada singkong, beras, sagu, jagung, kentang, talas, dan ubi jalar. (Winarno, 1984)
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Daya cerna pati dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran pencernaan. Daya cerna pati menunjukkan prosentase pati yang dapat dicerna dan di hidrolisis sehinggga mampu dioksidasi untuk menghasilkan energi yang diperlukan oleh tubuh. Kemudahan daya cernanya tergantung dari jenis pati juga keberadaan dari senyawa lain dalam bahan pangan atau pati itu sendiri, misalnya adanya senyawa tanin maupun jenis protein tertentu. Senyawa tanin ini akan mengikat karbohidrat, sedangkan protein dapat menghambat aktivitas amilase.
Untuk mengetahui daya cerna pati dapat dilakukan dengan mengukur kadar maltosa sampel dengan menggunakan spektrofotometri. Prinsip dasar analisa daya cerna pati adalah pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase menjadi maltosa. Hasil hidrolisis ini diukur jumlahnya dengan menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat. Daya cerna pati diindikasikan dengan jumlah maltosa yang dibebaskan (Anonim, 2011).
3.3 Perbedaan Amilosa dan Amilopektin
Struktur Pati Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (besarnya perbandingan amilosa dan amiloektin ini berbeda-beda tergantung jenis patinya). lebiha. Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan (1,4)-D-glikosidik,  mudah larut dalam air karena banyak mengandung gugus hidroksil. Kumpulan amilosa dalam air sulit membentuk gel sehingga kurang kental dibandingkan amilopektin serta lebih mudah membentuk senyawa komplek dengan asam lemak dan molekul organik. Derajat Polimerisasi dari amilosa berkisar antara 500-6000 unit glukosa.
Amilopektin memiliki ikatan a(1,4) dan a (1,6) dengan struktur yang bercabang, memiliki sifat mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air. DP amilopektin berkisar antara 105 sampai 3x106 unit glukosa. DP amilosa dan amilopektin ini dipengaruhi oleh jenis-jenis pati. Amilopektin umumnya merupakan penyusun utama kebanyakan granula pati. Fraksi amilosa dalam granula pati pada umumnya berkisar 22-26%, sedangkan amilopektin antara 74-78%. (Anonim, 2009).



3.4 Fungsi Perlakuan
Pertama singkong dan kentang diparut dan dihaluskan dengan mortar untuk memperluas permukaan bahan yang akan ekstrak serta mempermudah dalam proses pelarutan sehingga kandungan gizi didalam bahan dapat dihomogenkan secara optimal dengan pelarut. Kemudian diambil masing-masing sebanyak 100 mg lalu dilarutkan serta disaring ke dalam labu ukur 50 ml memisahkan komponen larutan ekstraksi dengan padatannya dan ditera hingga tanda batas untuk mengencerkan sampel agar dapat dibaca pada saat absorbansi. Filtrat dimasukkan ke dalam beakerglass 150 ml lalu dipanaskan 10 menit dengan berbagai variasi suhu perlakuan yaitu 27 OC, 70 OC dan 100 OC  untuk mempermudah proses pemutusan ikatan glikosida pada pati sehingga lebih mudah dihidrolisis enzim serta juga untuk mengetahui suhu optimal dari daya cerna pati dan mengetahui suhu gelatinisasi dari singkong dan kentang  Setelah itu masing-masing diambil sebanyak 2 ml larutan ke dalam tabung reaksi. Masing-masing sampel ditambahkan 1 ml aquades dan 5 ml pereaksi buffer Na phospat untuk mempertahankan pH suspensi agar tetap konstan, dan mempersiapkan kondisi pH medium yang sesuai bagi enzim karena enzim butuh pH optimum untuk dapat bekerja secara maksimum. Kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37 OC untuk memberikan kondisi yang optimum bagi enzim untuk menghidrolisis pati menjadi maltosa. Lalu ditambahkan 1 ml enzim a-amilase untuk membantu proses  pemecahan/hidrolisis pati menjadi maltosa (Winarno, 2004) dan di inkubasi kembali pada suhu yang sama selama 30 menit untuk memberikan kondisi yang optimum bagi enzim untuk menghidrolisis pati menjadi maltosa. Setelah itu diangkat dan diambil 1 ml larutan dari campuran tersebut dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lainnya. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat (DNS) sebagai indikator pembentukan warna dengan maltosa, karena DNS akan dapat berikatan dengan maltosa yang dibebaskan dari hasil hidrolisis pati membentuk kompleks senyawa berwarna orange merah sehingga memudahkan saat pembacaan absorbansi. Lalu dipanaskan pada suhu 100 OC selama 10 menit untuk mempercepat reaksi antara maltosa yang dibebaskan dari hasil hidrolisis pati dengan DNS serta untuk menghentikan aktivitas enzim yang menghidolisis pati. Terakhir didinginkan dan ditambahkan 1 ml aquades untuk mengencerkan sampel sehingga tidak terlalu pekat saat dilakukan pembacaan absorbansi dan absorbansi dengan λ=520 nm karena molekul maltosa dapat menyerap spektrum cahaya secara optimal pada panjang gelombang tersebut sehingga hasil pembacaan absorbansi bisa jelas.
3.5 Analisis Data
Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa kadar maltosa pada kentang dengan perlakuan pemanasan 27 OC, 70 OC dan 100 OC  berturut – turut adalah 41,90%; 42,12%; 38,70%. Sedangkan kadar maltosa pada singkong dengan perlakuan pemanasan 27 OC, 70 OC dan 100 OC  berturut – turut adalah 33,07%; 35,38%; 30,06%.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka makin banyak molekul pati yang terhidrolisis menjadi maltosa, sehingga jumlah maltosa yang dibebaskan akan semakin tinggi. Daya cerna pati meningkat seiring bertambahnya kadar maltosa pada bahan. Makin tinggi daya cerna pati, maka mutu zat gizinya lebih baik. Semakin tinggi suhu pemanasan maka semakin tinggi pula daya cernya patinya karena proses pemecahan pati menjadi maltosa akan semakin cepat dan hidrolisa pati makin cepat dan  kadar maltosa juga semakin meningkat (Winarno, 2004).
Terjadi penyimpangan pada pemanasan dengan suhu 100oC, seharusnya pada suhu ini kadar maltosa paling tinggi. Hal tersebut terjadi mungkin karena pada saat pengenceran terlalu banya penambahan aquades atau saat ditera melebihi batas jadi pembacaan absorbansinya tidak optimal.



BAB 4. KESIMPULAN


Dari praktikum analisa daya cerna pati dapat disimpulkan Amilosa memiliki struktur lurus dengan ikatan (1,4)-D-glikosidik,  mudah larut dalam air karena banyak mengandung gugus hidroksil. Amilopektin memiliki ikatan a(1,4) dan a (1,6) dengan struktur yang bercabang, memiliki sifat mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air.
Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan maka makin banyak molekul pati yang terhidrolisis menjadi maltosa, sehingga jumlah maltosa yang dibebaskan akan semakin tinggi. Daya cerna pati meningkat seiring bertambahnya kadar maltosa pada bahan. Makin tinggi daya cerna pati, maka mutu zat gizinya lebih baik. Semakin tinggi suhu pemanasan maka semakin tinggi pula daya cernya patinya karena proses pemecahan pati menjadi maltosa akan semakin cepat dan hidrolisa pati makin cepat dan  kadar maltosa juga semakin meningkat.
Terjadi penyimpangan pada pemanasan dengan suhu 100oC, seharusnya pada suhu ini kadar maltosa paling tinggi. Hal tersebut terjadi mungkin karena pada saat pengenceran terlalu banya penambahan aquades atau saat ditera melebihi batas jadi pembacaan absorbansinya tidak optimal.







DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. Daya Cerna Pati. http://eckonopianto.blogspot.com
(9 November 2011)
Anonim. 2011. Petunjuk Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Jember : THP-FTP UJ.
Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc., New
                        York

Prihatman, K. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Available
 at: http://www.ristek.go.id (9 November 2011)

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment