BAB 1. PROSEDUR
ANALISIS
1.1
Tujuan
Untuk menentukan
pengaruh suhu pemanasan terhadap daya cerna pati pangan.
1.2
Alat
dan Bahan
1.2.1
Alat
Alat –
alat yang digunakan yaitu tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet mikro, penangas air 37 – 100oC,
gelas ukur, beaker glass, spektrofotometer, labu ukur, botol semprot, parutan, mortar pastle.
1.2.2
Bahan
Bahan
– bahan
yang digunakan yaitu singkong, kentang, aquades, kertas saring,
Na phospat dan DNS (dinitrosalisilat).
1.3
Prosedur
Analisis
Pertama singkong dan kentang diparut dan dihaluskan dengan mortar kemudian
diambil masing-masing sebanyak 100 mg lalu
dilarutkan serta disaring ke dalam labu ukur 50 ml dan ditera hingga tanda
batas. Filtrat dimasukkan ke
dalam beakerglass 150 ml
lalu dipanaskan 10 menit
dengan berbagai variasi suhu
perlakuan yaitu 27
OC, 70 OC dan 100 OC. Kemudian, diambil masing-masing 2 ml larutan ke dalam tabung
reaksi. Lalu ditambahkan 1 ml aquades dan 5 ml pereaksi buffer
Na phospat
pada masing-masing tabung. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37 OC 15 menit. Lalu ditambahkan 1 ml enzim α-amilase dan diinkubasi lagi pada suhu 37 OC 30 menit. Setelah itu diangkat dan diambil
1ml larutan dari campuran tersebut dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
lainnya. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat (DNS), dan dipanaskan pada suhu
100 OC 10 menit. Terakhir didinginkan dan ditambah 1 ml aquades dan
absorbansi dengan λ =
520 nm, kemudian dicatat dan dianalisa.
BAB
2. HASIL PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
2.1
Hasil Pengamatan
2.1.1
Kentang
suhu (OC)
|
berat sampel (gram)
|
absorbansi
|
rata-rata absorbansi
|
|
ulangan 1
|
ulangan 2
|
|||
27
|
0,105
|
0,998
|
1,060
|
1,029
|
70
|
0,102
|
1,006
|
1,004
|
1,005
|
100
|
0,102
|
0,923
|
0,925
|
0,924
|
2.1.2
Singkong
suhu (OC)
|
berat sampel (gram)
|
absorbansi
|
rata-rata absorbansi
|
|
ulangan 1
|
ulangan 2
|
|||
27
|
0,120
|
0,930
|
0,927
|
0,929
|
70
|
0,104
|
0,804
|
0,859
|
0,862
|
100
|
0,122
|
0,860
|
0,858
|
0,859
|
2.2
Hasil Perhitungan
Suhu (oC)
|
% Maltosa
|
|
Kentang
|
Singkong
|
|
27
|
41,90
|
33,07
|
70
|
42,12
|
35,38
|
100
|
38,70
|
30,06
|
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1
Komposisi Kimia Kentang dan Singkong
Menurut (Prihatman,2000) dalam Salunkhe singkong merupakan
salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Ubi singkong
kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90% (bb) dengan pati sebagai komponen
utamanya. Singkong relative kaya akan kalsium dan asam askorbat (vitamin C).
Namun ubi ini tidak dapat langsung dikonsumi dalam bentuk segar tapi selalu
dilakukan pengolahan seperti pemanasan, perendaman dalam air, penghancuran,
atau beberapa proses tradisional lainnya dengan tujuan untuk detoksifikasi atau
membuang HCN yang bersifat mematikan yang dikandung dari semua varietas
singkong. Kandungan kalori dankomposisi zat gizi dalam 100 gram singkong
(Chan, 1983)
.
Kandungan air per 100 gram kentang ialah
82 gram, dengan nilai protein sebanyak 2 gram, kälori sebanyak 70 kkal, dan
karbohidrat sebanyak 19 gram. Selain kandungan-kandungan tersebut, kentang juga
memiliki kandungan lain seperti zat besi dan riboflavin yang penting bagi tubuh. Kentang memiliki kadar
air cukup tinggi, yaitu sekitar 80 persen. Itulah yang menyebabkan kentang
segar mudah rusak, sehingga harus disimpan dan ditangani dengan baik.
Pengolahan kentang menjadi kerupuk, tepung, dan pati, merupakan upaya untuk memperpanjang daya guna
umbi tersebut. Kentang
merupakan satu-satunya jenis umbi yang kaya vitamin C, kadarnya mencapai 31
miligram per 100 gram bagian kentang yang dapat dimakan. Umbi-umbian lainnya
sangat miskin akan vitamin C. Kebutuhan vitamin C sehari 60 mg, untuk
memenuhinya cukup dengan 200 gram kentang. Kadar vitamin lain yang cukup
menonjol adalah niasin dan B1 (tiamin).
3.2
Pengertian Pati dan Daya Cerna Pati
Pati
merupakan senyawa polisakarida yang terdiri dari monosakarida yang berikatan
melalui ikatan oksigen. Monomer dari pati adalah glukosa yang (1,4)-glikosidik,
yaitu ikatan kimia yangaberikatan dengan ikatan menggabungkan 2 molekul monosakarida yang
berikatan kovalen terhadap sesamanya. Pati merupakan zat tepung dari
karbohidrat dengan suatu polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen
utama, yaitu amilosa dan amilopektin. Polimer linier dari D-glukosa membentuk
amilosa dengan 1,4-glukosa. Sedangkan polimer amilopektin adalah terbentukaikatan
1,4-glukosida dan membentuk cabang pada ikatan dari ikatan a 1,6-glukosida.a(
Pati dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman yang dibentuk (disintesa) di
dalam daun (plastid) dan amiloplas seperti umbi, akar atau biji dan merupakan
komponen terbesar pada singkong, beras, sagu, jagung, kentang, talas, dan ubi
jalar. (Winarno, 1984)
Daya cerna pati adalah
tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah
pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Daya cerna pati dihitung sebagai
persentase relatif terhadap pati murni (soluble
starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran
pencernaan. Daya
cerna pati menunjukkan prosentase pati yang dapat dicerna dan di hidrolisis
sehinggga mampu dioksidasi untuk menghasilkan energi yang diperlukan oleh
tubuh. Kemudahan daya cernanya tergantung dari jenis pati juga keberadaan dari
senyawa lain dalam bahan pangan atau pati itu sendiri, misalnya adanya senyawa
tanin maupun jenis protein tertentu. Senyawa tanin ini akan mengikat
karbohidrat, sedangkan protein dapat menghambat aktivitas amilase.
Untuk mengetahui daya cerna pati dapat dilakukan dengan
mengukur kadar maltosa sampel dengan menggunakan spektrofotometri. Prinsip
dasar analisa daya cerna pati adalah pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase
menjadi maltosa. Hasil hidrolisis ini diukur jumlahnya dengan menggunakan
spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat. Daya cerna
pati diindikasikan dengan jumlah maltosa yang dibebaskan (Anonim, 2011).
3.3
Perbedaan Amilosa dan Amilopektin
Struktur
Pati Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari amilosa
dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (besarnya perbandingan amilosa dan
amiloektin ini berbeda-beda tergantung jenis patinya). lebiha. Amilosa memiliki
struktur lurus dengan ikatan
(1,4)-D-glikosidik, mudah larut dalam air karena banyak mengandung
gugus hidroksil. Kumpulan amilosa dalam air sulit membentuk gel sehingga kurang
kental dibandingkan amilopektin serta lebih mudah membentuk senyawa komplek
dengan asam lemak dan molekul organik. Derajat Polimerisasi dari amilosa
berkisar antara 500-6000 unit glukosa.
Amilopektin
memiliki ikatan a(1,4)
dan a
(1,6) dengan struktur yang bercabang,
memiliki
sifat mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air. DP amilopektin berkisar
antara 105 sampai 3x106 unit glukosa. DP amilosa dan amilopektin ini dipengaruhi
oleh jenis-jenis pati. Amilopektin
umumnya merupakan penyusun utama kebanyakan granula pati. Fraksi amilosa dalam
granula pati pada umumnya berkisar 22-26%, sedangkan amilopektin antara 74-78%. (Anonim, 2009).
3.4
Fungsi Perlakuan
Pertama singkong dan kentang diparut dan dihaluskan dengan mortar untuk
memperluas permukaan bahan yang akan ekstrak serta mempermudah dalam proses
pelarutan sehingga kandungan gizi didalam bahan dapat dihomogenkan secara
optimal dengan pelarut. Kemudian
diambil masing-masing sebanyak 100 mg lalu
dilarutkan serta disaring ke dalam labu ukur 50 ml memisahkan komponen
larutan ekstraksi dengan padatannya
dan ditera hingga tanda batas untuk
mengencerkan sampel agar dapat dibaca pada saat absorbansi.
Filtrat dimasukkan ke
dalam beakerglass 150 ml
lalu dipanaskan 10 menit
dengan berbagai variasi suhu
perlakuan yaitu 27
OC, 70 OC dan 100 OC untuk mempermudah
proses pemutusan ikatan glikosida pada pati sehingga lebih mudah dihidrolisis
enzim serta juga untuk mengetahui suhu optimal dari daya cerna pati dan
mengetahui suhu gelatinisasi dari singkong
dan kentang Setelah itu masing-masing diambil sebanyak 2 ml larutan ke
dalam tabung reaksi. Masing-masing sampel ditambahkan 1 ml aquades dan 5 ml
pereaksi buffer Na phospat untuk mempertahankan pH suspensi agar tetap konstan, dan
mempersiapkan kondisi pH medium yang sesuai bagi enzim karena enzim butuh pH
optimum untuk dapat bekerja secara maksimum. Kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37 OC untuk memberikan kondisi yang optimum bagi enzim untuk
menghidrolisis pati menjadi maltosa. Lalu ditambahkan 1 ml enzim a-amilase
untuk membantu proses
pemecahan/hidrolisis pati menjadi maltosa
(Winarno, 2004) dan di inkubasi kembali pada suhu
yang sama selama 30 menit
untuk memberikan kondisi yang optimum bagi enzim untuk menghidrolisis pati
menjadi maltosa. Setelah itu diangkat dan diambil 1 ml larutan dari
campuran tersebut dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lainnya. Kemudian
ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat (DNS) sebagai indikator pembentukan warna dengan maltosa,
karena DNS akan dapat berikatan dengan maltosa yang dibebaskan dari hasil
hidrolisis pati membentuk kompleks senyawa berwarna orange merah sehingga
memudahkan saat pembacaan absorbansi. Lalu
dipanaskan pada suhu 100 OC selama 10 menit untuk
mempercepat reaksi antara maltosa yang dibebaskan dari hasil hidrolisis pati
dengan DNS serta untuk menghentikan aktivitas enzim yang menghidolisis pati.
Terakhir didinginkan dan ditambahkan 1 ml aquades untuk mengencerkan sampel sehingga tidak terlalu pekat
saat dilakukan pembacaan absorbansi dan absorbansi dengan λ=520 nm karena molekul maltosa dapat menyerap spektrum cahaya secara optimal pada panjang gelombang
tersebut sehingga hasil pembacaan absorbansi bisa jelas.
3.5
Analisis Data
Dari
hasil perhitungan dapat diketahui bahwa kadar maltosa pada kentang
dengan perlakuan pemanasan 27
OC, 70 OC dan 100 OC berturut – turut adalah 41,90%; 42,12%; 38,70%. Sedangkan kadar maltosa pada singkong
dengan perlakuan pemanasan 27
OC, 70 OC dan 100 OC berturut – turut adalah 33,07%; 35,38%; 30,06%.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
suhu pemanasan maka makin banyak molekul pati yang terhidrolisis menjadi
maltosa, sehingga jumlah maltosa yang dibebaskan akan semakin tinggi. Daya
cerna pati meningkat seiring bertambahnya kadar maltosa pada bahan. Makin
tinggi daya cerna pati, maka mutu zat gizinya lebih baik. Semakin tinggi suhu
pemanasan maka semakin tinggi pula daya cernya patinya karena proses pemecahan
pati menjadi maltosa akan semakin cepat dan hidrolisa pati makin cepat dan kadar maltosa juga semakin meningkat
(Winarno, 2004).
Terjadi penyimpangan pada pemanasan dengan suhu 100oC,
seharusnya pada suhu ini kadar maltosa paling tinggi. Hal tersebut terjadi
mungkin karena pada saat pengenceran terlalu banya penambahan aquades atau saat
ditera melebihi batas jadi pembacaan absorbansinya tidak optimal.
BAB 4. KESIMPULAN
Dari
praktikum analisa daya cerna pati dapat disimpulkan Amilosa
memiliki struktur lurus dengan ikatan (1,4)-D-glikosidik, mudah larut dalam air karena banyak
mengandung gugus hidroksil. Amilopektin memiliki ikatan a(1,4)
dan a
(1,6) dengan struktur yang bercabang,
memiliki
sifat mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air.
Dari
hasil perhitungan menunjukkan bahwa
semakin tinggi suhu pemanasan maka makin banyak molekul pati yang terhidrolisis
menjadi maltosa, sehingga jumlah maltosa yang dibebaskan akan semakin tinggi. Daya
cerna pati meningkat seiring bertambahnya kadar maltosa pada bahan. Makin
tinggi daya cerna pati, maka mutu zat gizinya lebih baik. Semakin tinggi suhu
pemanasan maka semakin tinggi pula daya cernya patinya karena proses pemecahan
pati menjadi maltosa akan semakin cepat dan hidrolisa pati makin cepat dan kadar maltosa juga semakin meningkat.
Terjadi penyimpangan pada pemanasan dengan suhu 100oC,
seharusnya pada suhu ini kadar maltosa paling tinggi. Hal tersebut terjadi
mungkin karena pada saat pengenceran terlalu banya penambahan aquades atau saat
ditera melebihi batas jadi pembacaan absorbansinya tidak optimal.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim, 2009. Daya
Cerna Pati. http://eckonopianto.blogspot.com
(9 November 2011)
Anonim. 2011. Petunjuk
Praktikum Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Jember : THP-FTP UJ.
Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods.
Marcel Dekker Inc., New
York
Prihatman,
K. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot
utilissima Pohl). Available
at: http://www.ristek.go.id
(9 November 2011)
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan
dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
No comments:
Post a Comment