BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Cokelat adalah sebutan untuk hasil olahan makanan
atau minuman dari biji kakao (Theobroma cacao). Cokelat pertama kali
dikonsumsi oleh penduduk Mesoamerika kuno sebagai minuman.Theobroma cacao adalah
nama biologi yang diberikan pada pohon kakao olehLinnaeus pada tahun 1753.
Tempat alamiah dari genus Theobroma adalah di bagianhutan tropis dengan
banyak curah hujan, tingkat kelembaban tinggi, dan teduh.
Secara umum, proses terbentuknya coklat dari buah
kakao mengalami beberapa tahapan, yaitu pembersihan dan penyortiran biji kakao,
penyangraian, pemecahan dan pemisahan kulit, pengempaan untuk mendapatkan lemak
kakao dan bungkil kakao, dan terakhir pengolahan pasta dan bubuk coklat untuk
mendapatkan produk akhir yang diinginkan. Produk – produk tersebut dapat berupa
coklat batangan, coklat bubuk, dan masih banyak yang lainnya.
Pengolahan biji kakao hilir pada Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia memiliki cara tersendiri untuk mengolah biji kakao.
Untuk memperoleh produk antara ( lemak kakao, bungkil kakao, dan pasta), proses
yang dilakukan yaitu biji kakao fermentasi yang memenuhi standart SNI dilakukan
penyangraian, pemisahan kulit biji, pemastaan, dan pengempaan yang akhirnya
didapatkan lemak dan bungkil kakao yang kemudian diolah lebih lanjut.
Dari uraian tersebut terdapat perbedaan antara
teori secara umum dan pengolahan yang telah diterapkan pada Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia. Untuk itulah perlu diadakannya praktikum untuk
mengetahui perbedaan tersebut.
1.2
Tujuan
-
Mengetahui produk-produk hilir dari kakao.
-
Mengetahui pengolahan hilir kakao.
-
Mengetahui alat dan bahan yang digunakan
dalam pengolahan hilir kakao.
-
Mengetahui perbedaan teori pengolahan
hilir kakao dengan lapang.
BAB II METODOLOGI PRAKTIKUM
2.1 Alat dan Bahan
2.1.1 Alat
- Mesin Penyangrai (Roaster)
- Pengaduk
- Baki besar
- Timbangan
- Drum Silo
- Alat Pemastaan
- Ballmill
- Conching
- Pengempa
- Burr Mill biasa
- Burr Mill modifikasi
- Grinder biasa
- Grinder modifikasi
- Desheller
- Mesin Pencetakan
- Cetakan
- Blower
2.1.2 Bahan
- Biji Kakao Forastero
- Alumunium foil
- Tissue
- Label
- Lesitin
- Vanili
- Soda / Natrium bikarbonat
- Susu bubuk
2.2 Skema Kerja
Pencetakan
|
Biji
Kakao
|
Penyangraian
|
Pengupasan
Kulit
|
Daging
Biji (Nib)
|
Pemastaan
|
Pasta
Cokelat
|
Pengempaan
|
Pendinginan
|
Penghalusan
|
Bubuk
Cokelat
|
Lemak
Kakao
|
Kulit
Biji
|
Pasta,
Bubuk,Lemak, Gula
Milk,
Lesitin, Vanila
|
Conching
|
Penyortiran
Biji Kakao
|
Pengemasan
|
Tempering
|
Makanan/permen
coklat
|
BAB III HASIL PENGAMATAN DAN HASIL
PERHITUNGAN
3.1 Hasil Pengamatan
No.
|
Tahapan
|
Pengamatan
|
Penjelasan
|
1.
|
Biji kakao
|
Ukuran
|
100/100 g (IA)
|
|
|
Kadar air
|
7%
|
|
|
Kadar kulit
|
12-13%
|
|
|
Citarasa
|
Pahit-asam
|
2.
|
Penyangraian
|
Kondisi sangrai
|
|
|
|
Suhu sangrai
|
120oC-150oC
|
|
|
Waktu
|
30-40 menit
|
|
|
Warna biji hasil
sangrai
|
Coklat tua
|
3.
|
Pendinginan
|
Suhu biji sangrai
|
140 oC
|
|
|
Kebersihan
|
Bersih
|
|
|
Berat hasil biji
sangrai
|
Berat awal : 10 kg
Berat akhir : 9.4 kg
|
4.
|
Pengupasan kulit
|
Waktu
|
|
|
|
Hasil nib kakao
|
80%
|
|
|
Kulit ari kakao
|
17-20%
|
|
|
Berat hasil nib kakao
|
|
5.
|
Pemastaan
|
Waktu
|
60 kg/jam
|
|
|
Jumlah input
|
3 kg
|
|
|
Jumlah output
|
2.5-2.9 kg
|
|
|
Suhu
|
45-50 oC
|
6.
|
Penghalusan
|
Waktu
|
15 jam
|
|
|
Jumlah input
|
3 kg
8 kg
25 kg
50 kg
|
|
|
Jumlah output
|
2.7 Kg
7.7 kg
24.5 kg
50 kg
|
|
|
Suhu
|
50-70 oC
|
|
|
Kehalusan
|
20 mikron
|
7.
|
Conching
|
Waktu
|
4 jam
|
|
|
Jumlah input
|
25 kg
|
|
|
Jumlah output
|
25 kg
|
|
|
Suhu
|
50-70 oC
|
|
|
Citarasa
|
|
|
|
Kehalusan
|
20 mikron
|
8.
|
Pencetakan tempering
|
Suhu
|
< 30 oC
|
|
|
Waktu
|
45 menit
|
|
|
Jumlah formula input
|
|
|
|
Jumlah hasil
|
|
|
|
Citarasa
|
Mill dan dark, lemak
nabati
|
|
|
Tampilan
|
|
9.
|
Pengemasan
|
Kapasitas pengemasan
|
1 box = 10 sachet
|
|
|
Waktu
|
|
|
|
Tampilan
|
|
10.
|
Pengepresan
|
Jumlah input
|
|
|
|
Waktu
|
30 menit
|
|
|
Suhu
|
50-60 oC
|
|
|
Jumlah output lemak
|
30-40%
|
|
|
Jumlah output bungkil
|
60-70%
|
3.2 Hasil Perhitungan
Tidak
diperoleh hasil perhitungan dalam praktikum.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Proses
pengolahan hilir kakao di Puslit Koka melalui beberapa tahap, yaitu:
Tahap
pertama pada pengolahan hilir kakao adalah penyangraian. Sebelum penyangraian,
biji kakao mengalami penyortiran terlebih dahulu agar biji kakao yang akan
disangrai terbebas dari benda-benda yang tidak dikehendaki. Tahap ini bertujuan
untuk mengembangkan cita rasa dan aroma khas coklat, menurunkan kadar air,
mematikan mikroba, menggelembungkan kulit biji hingga mudah dipisahkan dari
nib, dan memudahkan nib mengalami penghancuran dan penghalusan. Setelah biji
kakao mengalami penyangraian, kemudian didinginkan untuk menurunkan suhu biji
kakao yang pada saat penyangraian mencapai 140 oC menggunakan blower
sebagai penghembus panas.
Tahap
kedua adalah pengupasan kulit biji kakao yang menggunakan alat yaitu desheller yang menghasilkan daging biji
(nib) dan kulit biji. Fungsi dari pengupasan yaitu untuk memperbesar luas
permukaan hancuran nib. Setelah diperoleh nib kakao, dilakukan pemastaaan yang
bertujuan untuk melumatkan pecahan-pecahan nib pasca sangrai dengan menggunakan
ulir (screw) sampai diperoleh pasta coklat. Nib kakao yang semula padat akan
menjadi pasta yang berwujud semi cair atau cair. Kemudian dilakukan penghalusan
menggunakan alat yang bernama ballmill.
Tujuan dari penghalusan yaitu memperhalus partikel pasta coklat sehingga
komponen-komponen yang ada di dalam pasta menjadi lebih halus dan homogen.
Tahap
selanjutnya, dibagi menjadi dua tahap yaitu pengepresan atau pengempaan dan
pencampuran. Pengepresan dilakukan untuk memperoleh lemak kakao atau minyak
dari nib kakao yang telah menjadi pasta menggunakan alat press. Pada
pengepresan diperoleh lemak kakao dan bungkil kakao yang kemudian menjadi bubuk
kakao. Bungkil kakao mengalami proses penghalusan terlebih dahulu dan
selanjutnya di ayak sebelum menjadi bubuk, sedangkan lemak kakao akan diproses
lebih lanjut menjadi sabun dan produk lainnya. Sedangkan pada tahap
pencampuran, pasta kakao yang telah mengalami penghalusan yang formula awal
berupa pasta kakao, lemak kakao, gula pasir, dan susu bubuk dicanpur dengan
lesitin, soda, dan vanili agar diperoleh flavor coklat yang baik. Tahapan ini
dilakukan menggunakan alat yang bernama conching
yang berfungsi untuk mencampur dan menghasilkan tingkat kehalusan, keseragaman
dan citarasa coklat yang optimal.
Setelah
diperoleh pasta kakao, dilakukan pencetakan menggunakan mesin pencetak yang
dilengkapi dengan pemanas dan pendingin. Kemudian dilakukan tempering yang
bertujuan untuk membentuk tekstur padat pada coklat dengan waktu tempering
30-45 menit dan suhu 10-15 oC. Tahap terakhir yaitu pengemasan pada
coklat padat dan coklat bubuk. Coklat padat dikemas menggunakan aluminium foil
sedangkan coklat bubuk dikemas menggunakan alat pengemas yang dilengkapi dengan
sensor. Pengemasan bertujuan untuk melindungi produk dari benda-benda yang
berbahaya bagi produk. Adapun pendewasaan yang dilakukan pada coklat padat atau
permen coklat yang bertujuan untuk membentuk tekstur lebih padat dan agar tidak
mudah meleleh.
4.2 Analisa Data
Pada pengolahan
hilir kakao yang terdapat di Puslitkoka dilakukan beberapa tahap yaitu
penyangraian, pengupasan, pendinginan, pemastaan, pengepresan, penghalusan,
conching, pencetakan, tempering, pengemasan dan pendewasaan.
1. Penyangraian
Tahap
pertama pada pengolahan hilir kakao adalah penyangraian. Tujuan dari
penyangraian adalah mengembangkan cita rasa dan aroma khas coklelat, menurunkan
kadar air, mematikan mikroba, menggelembungkan kulit biji hingga mudah
dipisahkan dari nib, dan membuat nib lebih renyah sehingga memudahkan
penghancuran dan penghalusan (Wahyudi dan Yusianto, 2008). Pada proses ini juga
memudahkan untuk mengeluarkan lemak dari
dalam biji kakao tersebut. Melalui proses fermentasi dan pengeringan yang
tepat, biji kakao mengandung cukup banyak senyawa calon pembentuk cita rasa dan
aroma khas cokelat antara lain asam amino dan gula reduksi. Selama proses penyangraian,
keduanya akan bereaksi membentuk senyawa Maillard.
Pada
penyangraian di Puslitkoka Jember, bahan yang digunakan adalah biji kakao
forastero. Ukuran biji maks 100 per 100 gram (IA) dan telah terfermentasi dengan baik. Biji kakao yang digunakan
dalam sekali produksi sebanyak 10 kg dengan kadar air biji kakao sebesar 7%.
Biji yang akan disangrai disimpan dalam silo yang dijaga keadaan ruangnya agar
tidak mempengaruhi keadaan biji yang disimpan. Biji tersebut memiliki ciri-ciri
cita rasa biji kakao yang pahit-asam
namun relatif lebih kuat rasa pahitnya. Sebelum biji kakao disangrai,
diukur terlebih dahulu kadar airnya. Biasanya, kadar air biji yang tersimpan
sampai dengan 7%. Kadar air menentukan lama penyangraian, karena semakin tinggi
kadar air maka akan semakin lama waktu penyangraian. Kualitas cita rasa cokelat
sangat ditentukan oleh tahap penyangraian dimana hal yang harus sangat
diperhatikan adalah waktu dan suhu penyangraian. Kesempurnaan reaksi sangrai
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu panas, waktu dan kadar air (Lees and
Jackson, 1973 dalam Mulato dkk, 2004).
Alat
yang digunakan adalah Roaster berkapasitas 10 kg dengan bahan bakar elpiji
maupun biogas. Tabung penyangrai di kondisikan dalam udara panas bersuhu 125oC
selama 3 sampai 4 menit. Sumber panas
untuk proses penyangraian diperoleh dari pembakaran dari sebuah tungku. Energi
panas disalurkan melalui dinding silinder bagian luar secara
konduksi. Kecepatan roaster 40 rpm dan 9-10 kali putaran/menit.
Biji
dapat dimasukkan setelah suhu 125oC tercapai. Apabila suhu terlalu
rendah maka biji yang disangrai tidak akan matang dan apabila suhu terlalu
tinggi maka biji akan gosong. Proses penyangraian berlangsung kurang lebih
selama 30 sampai 40 menit. Untuk mengukur tingkat kematangan biji saat
penyangraian, operator memeriksa setiap beberapa menit. Pengukuran tingkat
kematangan meliputi tekstur atau tingkat kekerasan, warna, dan rasa dari biji
kakao tersangrai. Berat akhir yang diperoleh setelah proses penyangraian adalah
9,4-9,5/kg.
2. Pendinginan
Tahap
ini bertujuan untuk menurunkan suhu biji kakao yang mencapai 140°C setelah
penyangraian. Alat yang digunakan yaitu blower sebagai penghembus panas dengan
kapasitas 10 kg. Pada saat praktikum berat
awal 10 kg namun setelah pendinginan selama 15 menit, berat akhir menjadi 9,4
kg. Hal tersebut dikarenakan kandungan air pada biji kakao berkurang setelah
penyangraian dan pendinginan. Setelah pendinginan, suhu akhir biji sangraian
adalah 27°C.
3.
Pengupasan
a. Pengupasan
skala menengah
Pengupasan skala menengah dilakukan
berdasarkan berat jenisnya dimana kulit biji kakao memiliki berat jenis yang
lebih rendah sehingga akan lebih mudah terhisap. Mesin dengan kapasitas 25kg/jam.
Hasilnya berupa nib kakao maksimal 80% dan kulit ari kakao 17-20%. Dengan kandungan
kulit dalam nib maksimal 1,7%. Limbah yang dihasilkan berupa kulit kakao
digunakan untuk pakan ternak.
Mekanisme kerja dari alat pengupasan
yaitu biji kakao yang telah didinginkan setelah penyangraian dimasukkan dalam
hooper yang dilengkapi katup pembuka. Biji kakao kemudian digiling dalam alat
sehingga terpisah nib dan kulitnya. Nib memiliki berat jenis yang besar
sehingga akan jatuh ditempat penampungan sementara kulit yang memiliki berat
jenis lebih kecil akan terhisap pompa menuju tabung. Kulit yang besar akan
turun ke bawah sedangkan kulit yang sangat kecil seperti debu akan dihisap
kembali oleh pompa dan masuk ke kotak selanjutnya .
Pada praktikum, input
yang digunakan yaitu 1 kg biji kakao yang telah didinginkan setelah
penyangraian. Kemudian dilakukan pengupasan menggunakan desheller sehingga
diperoleh hasil :
§ Nib
727 gram → (737 : 1000)x100% = 74 %
§ Kulit
273 gram → (263 : 1000)x100% = 26 %
b. Pengupasan
Skala Rumah Tangga
Pada mesin desheller skala rumah
tangga di Puslitkoka ini percobaan pengupasan hanya dilakukan sebatas melihat
cara kerjanya saja. Selain itu, tidak dilakukan perhitungan berat nib dan kulit
yang terpisah. Mekanisme kerja alat desheller skala rumah tangga ini adalah sebanyak
2,5 Kg kakao disiapkan lalu dimasukan dalam hooper sedikit demi sedikit. Biji
ini digiling sehingga nibakan terpisah dari kulitnya. Kulit dihisap dengan mesin penghisap dan nib
di ayak sesuai ukuran pengayak. Ukuran kulit hasil pengupasan dibedakan
berdasarkan besar dan kecilnya.
4.
Pemastaan
Pemastaan
merupakan salah satu tahapan proses pengolahan biji kakao menjadi bubuk kakao
dimana terjadi perubahan biji kakao yang semula padat menjadi pasta yang
berwujud semi cair atau cair menggunakan alat pemasta disertai pengontrolan
suhu. Tujuan pemastaan yaitu mengubah biji kakao yang semula padat menjadi semi
cair atau cair. Pemastaan dilakukan menggunakan alat pemasta. Prinsip kerja
alat ini yaitu melumatkan biji kakao hasil penyangraian yang semula padat
menjadi pasta kakao berwujud semi cair atau cair. Kapasitas alat pemasta ini
adalah 60 kg, dengan waktu pemastaan
yaitu selama 60 kg/jam.
Pada
saat praktikum di Puslitkoka Jember, jumlah nib yang dimasukkan dalam alat
adalah sebanyak 3 kg. Mekanisme kerja alat pemasta yaitu dimulai dari
dimasukkannya bahan berupa inti biji kakao kedalam hoper mesin pemasta. Pada
alat pemasta ini terdapat pengontrol masuknya nib kedalam katub pengeluaran.
Pengontrolan ini dilakukan agar nib masuk sedikit demi sedikit sehingga
penggerusan berlangsung lebih efektif. Penggerusan nib menyebabkan terjadinya
pengecilan ukuran. Gesekan antara bahan- bahan selama penggerusan menimbulkan
panas yang mencapai suhu 45 – 50o C. Timbulnya panas ini
mengakibatkan lemak pada nib mencair sehingga berubah menjadi pasta dengan
berat sekitar 2,5 – 2,9 kg. Pasta yang dihasilkan berwujud semi cair dengan
suhu umumnya yaitu kurang lebih 45o
C.
5.
Pengepresan
Pengepresan bertujuan untuk
mendapatkan lemak kakao. Lemak kakao yang diperoleh akan digunakan untuk
membuat berbagai olahan coklat seperti permen coklat. Pengepresan dilakukan
menggunakan alat pengempa. Setelah pengepresan diperoleh lemak kakao dan bungkil
kakao. Bungkil kakao dapat digunakan untuk bahan pembuatan bubuk kakao.
6.
Penghalusan
Proses penghalusan pasta menggunakan
alat yaitu ball mill. Formula
yang ditambahkan untuk proses pembuatan bubuk kakao yaitu Pasta
kakao 25%, Lemak kakao 27.5%, Gula 25% untuk
memaksimalkan rasa dan tingkat kemanisan, ditambahkan susu bubuk 22.5%
untuk menambah rasa. Waktu yang digunakan untuk penghalusan yaitu 15 jam. Jumlah
input 3kg dengan menghasilkan
output 2,7kg; 8kg menghasilkan output 7,7kg; 25 kg menghasilkan output 24,5 kg
(11.000 butir) dan 50 kg menghasilkan output
49 kg. Suhu yang dihasilkan 50-70 oC dengan tingkat kehalusan
20 mikron.
7.
Conching
Conching merupakan proses
pencampuran untuk menghasilkan coklat dengan flavor yang baik dan tekstur yang
halus. Pada Puslit Koka tingkat
kehalusan, keseragaman dan citarasa yang optimal dengan waktu kurang lebih selama
4 jam. Jumlah input 25 kg menghasilkan jumlah output sebanyak 25 kg dengan suhu 50-70oC. Formula
yang ditambahkan yaitu Lesitin 0.3%
untuk mengurangi kekentalan coklat,
Vanili 0.1%, Soda / Natrium bikarbonat 0.3%. Tingkat Kehalusan yang
dihasilkan yaitu 20 mikron.
8.
Pencetakan
Pencetakan
dilakukan menggunakan mesin pencetak yang dilengkapi dengan pemanas dan
pendingin. Mesin pencetak yang dilengkapi dengan vibration memiliki kapasitas 3
kg dan lamanya proses sekitar 45 menit. Pendinginan tidak boleh lebih dari 300C
untuk mempertahankan massa coklat. Pada saat praktikum, pasta yang sudah
ditambahkan bahan- bahan lainnya seberat 24 kg dimasukkan dalam cetakan tiap 8
kg.
Formula dan cita rasa
a. Mill
dan Dark terbuat dari lemak kakao dengan karakteristik :
1. Rasa
lebih enak 3. Mudah
leleh
2. Harga
lebih tinggi 4. Daya simpan lama(1 Th)
b. Lemak
Nabati terbuat dari minyak kelapa Sawit
dengan karakteristik :
1. Rasa
kurang enak 3. Tidak Mudah leleh
2. Daya
simpan 6 bulan 4. Harga lebih murah
9.
Tempering
Tempering merupakan proses yang
bertujuan untuk membentuk tekstur padat pada coklat. Waktu tempering yaitu 30 –
45 menit dalam cetakan dan dilepas dari cetakan selama 1 Malam.Suhu yang
dibutuhkan pada proses tempering adalah 10-150C.
10.
Pengemasan
a. Permen
coklat
Massa coklat setelah dari cetakan yaitu :
·
Cetakan Tralin 8-10 g
·
Cetakan Bar 25 g, 40 g, 60 g dan 70 g
Kemudian
dilakukan packaging menggunakan alumunium foil dan di lap dengan tissue agar
bentuknya terlihat. Selanjutnya di kemas dengan Alumunium foil, warna emas dan
diberi stiker sesuai formulanya.
b. Coklat
bubuk
Mekanisme
pengemasan coklat bubuk yaitu bubuk coklat dikemas menggunakan alat pengemas
yang dilengkapi sensor. Sensor berfungsi mengatur netto dari setiap sachet
coklat bubuk. Kapasitas pengemasan dalam 1 box = 10 sachet dengan berat 28
g/sachet. Kapasitas produksi adalah 1860
sachet/jam, sehingga dihasilkan 52.080 kg bubuk coklat/produksi.
11.
Pendewasaan
Proses ini dilakukan pada produk
permen coklat yang berfungsi untuk membentuk tekstur lebih padat dan tidak
mudah meleleh. Pendewasaan dilakukan selama 7 hari. Permen coklat disusun rapi
didalam etalase dalam ruang yang bersuhu sejuk.
4.3 Perbandingan Teori dan Praktikum
Perbandingan teori dan
praktikum pengolahan biji kakao adalah sebagai berikut :
a.
Penyangraian
Penyangraian (roasting) merupakan pengolahan pendahuluan untuk semua hasil
olahan akhir kakao. Tujuan penyangraian adalah mengembangkan cita rasa dan
aroma khas cokelat, menurunkan kadar air, mematikan mikroba, menggelembungkan
kulit biji hingga mudah dipisahkan dari nib, dan membuat nib lebih renyah
sehingga memudahkan penghancuran dan penghalusan (Wahyudi dkk, 2008). Tahap penyangraian di Puslitkoka
Jember, bahan yang digunakan berupa biji kakao forastero. Ukuran biji maks 100
per 100 gram (1 A) dan telah terfermentasi dengan baik. Biji yang akan
disangrai disimpan dalam silo yang dijaga keadaan ruangnya agar tidak
mempengaruhi keadaan biji yang disimpan. Biji- biji tersebut memiliki ciri cita
rasa biji kakao yang pahit-asam
namun relatif lebih kuat rasa pahitnya. Hal ini sesuai
dengan literature dimana sebelum penyangraian, biji
kakao memiliki rasa sepat, pahit, asam dan tanpa ada cita rasa khas cokelat. Senyawa
pembentuk aroma khas cokelat, seperti pirazin, karbonil, dan ester meningkat
secara nyata selama penyangraian dari 35 menit sampai 65 menit pada suhu 140 °C
(Misnawi, 2005). Kualitas cita rasa cokelat sangat ditentukan oleh kondisi
penyangraian, khususnya pada waktu dan suhu penyangraian.
Biji
kakao dapat dimasukkan ke mesin penyangrai setelah suhu 125oC
tercapai. Biasanya panas ruang penyangrai (silinder berputar) dipertahankan
antara 120 oC – 150 oC. Hal ini dikarenakan apabila suhu
terlalu rendah maka biji yang disangrai tidak akan matang dan apabila suhu
terlalu tinggi maka biji akan gosong. Pengontrolan suhu ini sesuai dengan
literature karena panas dalam proses penyangraian perlu diberikan
dalam intensitas dan waktu yang cukup untuk perkembangan cita rasa (flavor) kakao, namun panas yang
berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya kehilangan atau kerusakan cita rasa. Konsentrasi pigmen warna
cokelat dalam biji kakao yang disangrai mencapai puncaknya pada suhu 135 °C dan
akan menurun secara bertahap bila suhu proses pemanasan berlanjut mengalami
kenaikan/peningkatan (Agus, 2008).
Proses penyangraian akan selesai
apabila warna bagian dalam keping biji berubah menjadi coklat tua dan rasa
pahitnya berkurang. Kadar air setelah melakukan penyangraian berkisar 2.5%
(Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Sedangkan di Puslitkoka proses penyangraian berlangsung kurang lebih selama 30 -
40 menit dan untuk mengukur tingkat kematangan biji saat penyangraian, biasanya
operator memeriksa setiap beberapa menit. Selama proses
penyangraian, air akan menguap dari biji, kulit yang menempel di permukaan inti
biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan beberapa senyawa menguap, antara
lain asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan ester (Anonim, 2011).
Ketika kondisi penyangraian telah
diatur untuk menentukan ukuran rata – rata biji kakao ternyata biji kakao yang
lebih kecil ukurannya mengalami over
roasted dan akibatnya komponen flavor yang terbentuk adalah komponen flavor
tidak diinginkan. Sedangkan biji kakao yang lebih besar ternyata kurang cukup
tersangrai pada bagian tengahnya akibatnya tidak semua komponen pemicu flavor
telah terkonversi dan akibatnya flavor cokelat akan berkurang (Minifie, 1999).
b.
Pengupasan Kulit Biji Kakao
Komponen
dari biji kakao yang berguna untuk bahan pangan adalah daging biji (nib),
sedangkan kulit biji merupakan limbah yang saat ini banyak dimanfaatkan sebagai
campuran pakan ternak, sebab adanya shell
atau kulit yang terikat dalam produk kakao akan memberikan flavor inferior
(Mulato, 2005). Hal ini sama dengan tujuan pengupasan di Puslitkoka Jember.
Mesin dengan kapasitas 25kg/jam. Hasilnya berupa nib kakao maksimal 80% dan kulit
ari kakao 17-20%.
Pengupasan biji kakao bisa dilakukan
secara manual dan mekanis. Pengupasan secara manual menggunakan alat pemecah
biji seperti palu. Dan pengupasan secara mekanis menggunakan alat pengupas yang
dilengkapi penghisap yang akan menghisap kulit yang terlepas dari nib kakao (Mulato,
2005). Mekanisme kerja dari alat pengupasan di Puslitkoka yaitu biji kakao yang
telah didinginkan setelah penyangraian dimasukkan dalam hooper yang dilengkapi
katup pembuka. Biji kakao kemudian digiling dalam alat sehingga terpisah nib
dan kulitnya. Nib memiliki berat jenis yang besar sehingga akan jatuh ditempat
penampungan sementara kulit yang memiliki berat jenis lebih kecil akan terhisap
pompa menuju tabung. Kulit yang besar akan turun ke bawah sedangkan kulit yang
sangat kecil seperti debu akan dihisap kembali oleh pompa dan masuk ke kotak
selanjutnya .
c.
Penggilingan nib (pemasta kasar)
Tahap proses berikutnya adalah
penggilingan nib menjadi pasta kakao sebagai produk primer kakao pertama.
Proses ini menyebabkan titik cair lemak kakao turun di bawah titik cair
sesungguhnya (Wahyudi dkk, 2008).
Mekanisme kerja alat pemasta yaitu
dimasukkannya bahan berupa inti biji kakao kedalam hooper mesin pemasta. Pada
alat pemasta ini terdapat pengontrol masuknya nib kedalam katub pengeluaran.
Pengontrolan ini dilakukan agar nib masuk sedikit demi sedikit sehingga
penggerusan berlangsung lebih efektif. Penggerusan nib menyebabkan terjadinya
pengecilan ukuran. Gesekan antara bahan - bahan selama penggerusan menghasilkan
panas yang mencapai suhu 45 – 50o C. Timbulnya panas ini
mengakibatkan lemak pada nib mencair sehingga berubah menjadi pasta. Mekanisme
ini hampir sama dengan literature, pengoperasian mesin penggiling bervariasi
menurut keadaan nib dan produk yang dimaksudkan (Wahyudi 2008). Sebagai contoh,
suhu penggilingan untuk nib sumber aroma dipertahankan agar tetap rendah
sehingga cita rasa yang mudah menguap tidak hilang. Oleh karena itu, idealnya
peralatan modern untuk penggilingan harus dilengkapi dengan pendingin air. Namun
pada mesin pemasta di Puslitkoka, tidak dilengkapi dengan pendingin air.
d.
Penghalusan
Proses penghalusan pasta di
Puslitkoka Jember menggunakan alat yaitu ball
mill. Formula yang
ditambahkan untuk proses pembuatan bubuk
kakao yaitu Pasta kakao 25%, Lemak kakao 27.5%, Gula 25% untuk memaksimalkan rasa dan tingkat kemanisan, dan
ditambahkan susu bubuk 22.5% untuk menambah rasa. Waktu yang digunakan untuk
proses ini yaitu 15 jam. Suhu
yang dihasilkan 50-70 oC dengan tingkat kehalusan 20 mikron.
e.
Conching
Conching dilakukan untuk mencampurkan
semua bahan yang digunakan dalam pembuatan permen coklat seperti lemak kakao,
susu, perasa buah dan lain- lain (Wahyudi,
2008). Di Puslitkoka, conching adalah proses pencampuran untuk menghasilkan
coklat dengan flavor yang baik dan tekstur yang halus. Tingkat kehalusan, keseragaman dan citarasa yang optimal dengan waktu
selama 4 jam. Suhu yang dihasilkan yaitu 50 – 70 oC. Formula yang
ditambahkan yaitu Lesitin 0.3% untuk mengurangi kekentalan coklat, Vanili 0.1%, Soda / Natrium bikarbonat 0.3%.
Tingkat Kehalusan yang dihasilkan yaitu 20 mikron. Hal ini berarti
pemaknaan conching yang dilakukan saat praktikum hampir sama dengan literatur.
f.
Pencetakan
Coklat memiliki sifat mudah leleh,
untuk memaksimalkan pencetakannya digunakan pencetak dengan system pendinginan
dan pemanasan (Misnawi, 2005). Hal ini berarti, pencetakan
yang dilakukan di Puslitkoka sesuai dengan literature yaitu dengan menggunakan
mesin pencetak yang dilengkapi dengan pemanas dan pendingin. Mesin pencetak
yang dilengkapi dengan vibration memiliki kapasitas 3 kg dan lamanya proses
sekitar 45 menit. Pendinginan tidak boleh lebih dari 30 0C untuk
mempertahankan massa coklat.
g.
Tempering
Tempering
dilakukan setelah conching untuk membentuk kepadatan dari coklat itu sendiri
(Misnawi dkk, 2008). Sedangkan pada praktikum di Puslitkoka, tempering
dilakukan setelah pencetakan untuk membentuk tekstur padat pada coklat. Waktu
tempering yaitu 30 – 45 menit dalam cetakan dan dilepas dari cetakan selama 1
Malam. Suhu yang dibutuhkan pada proses tempering adalah 10-150C.
h.
Pengemasan
Pengemasan coklat dilakukan menggunakan
alumunium foil dikarenakan kemasan ini dapat menahan suhu produk didalamnya.
Maka coklat tidak akan mudah meleleh akibat terpaan suhu yang tidak stabil dari
luar (Wahyudi, 2008). Hal ini sama dengan kemasan yang digunakan di Puslitkoka
dimana menggunakan aluminium foil sebagai pengemas coklatnya.
BAB
V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari
hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Produk
hilir kakao berupa lemak kakao, bubuk coklat, dan makanan / permen coklat
2. Tahap
pengolahan hilir meliputi penyangraian, pendinginan, pengupasan, pemastaan,
pengepresan, penghalusan, conching, pencetakan tempering, dan pengemasan
3. Alat
yang digunakan berupa roaster, blower, desheller, alat pemasta kakao, pengempa,
ball mill, conching, dan mesin pencetak dengan vibrator.
4. Dalam
pengolahan biji kakao hilir, tidak terlalu banyak perbedaan antara yang
diterapkan pada puslitkoka dengan teori perkuliahan
5.2 Saran
Dalam studi lapang, diharapkan
mencari jadwal yang pas sehingga tidak terdapat pembagian jam yang sedikit
kurang rapi. Terimakasih atas bimbingan dari pihak yang terkait.
DAFTAR
PUSTAKA
Misnawi (2008). Psyco-cehemical changes during cocoa
fermentation and key enzyme involved. Warta Review Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia, 24(1), 53-70.
Minifie, B.W., 1999. Chocolate, Cocoa and Confectionary: Science
and Technology. The AVI Publishing, Connecticut, USA
Misnawi. 2005. Peranan Pengolahan Terhadap Pembentukan
Citarasa Cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Vol. 21. Oktober
2005, Jember.
Muchtadi, T.R. dan
Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wahyudi, T., T.R.
Panggabean dan Pujiyanto, 2009. Paduan
Lengkap Kakao. Penebar Swadaya, Jakarta.
Widyotomo,
S, Sri Mulato, dan Handaka. 2004. Mengenal
Lebih Dalam Teknologi Pengolahan Biji Kakao. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
No comments:
Post a Comment